Tapanuli: Dari Polemik Provinsi Menuju Transformasi
Oleh Thomson Martua Parulian Sinaga
- Kabar Terakhir Provinsi Tapanuli
Kabar terakhir perihal Provinsi Tapanuli (Protap) saya dapati di suratkabar Metro Tapanuli edisi Jumat, 19 Oktober 2007, dengan judul berita utama, “Hasil Pertemuan di Laguboti, Ibukota Protap di Siborongborong,” dan sub-judul, “RUU Protap Sudah di Komisi II DPR.” Berita yang sangat optimistis ini menguraikan rencana Komisi II DPR untuk menggelar rapat membahas RUU Protap—sebagai inisiatif dewan—dalam masa persidangan yang akan dimulai
Bagaimana kelanjutan Protap ke depan masih penuh tanda tanya. Anehnya, berita itu tidak lagi disambut polemik berkepenjangan yang dulu ditunjang oleh polarisasi pro-kontra di kedua belah pihak—yang menentang dan yang mendukung. Sebenarnya, kawasan yang disebut sebagai Tapanuli bukan sekali ini saja mendapat sorotan pers. Tahun 1980-an, yakni pada era Orde Baru, kawasan ini mendapat sorotan tajam dan panjang karena kedudukan ekonomisnya yang sangat lemah sehingga dinamai peta kemiskinan.
- Polarisasi Kristen-Islam di Tapanuli
Belanda secara resmi memulai kekuasaannya di Tanah Batak 11 Oktober 1833 dengan pembentukan Distrik Batak dalam administrasi pemerintahannya.[1] Sejak itu, secara perlahan, semua Tanah Batak masuk ke dalam wilayah kekuasaan kolonial. Pada masa penjajahan itu, Tapanuli adalah kawasan yang terbagi dalam dua wilayah pemerintahan, yakni Wilayah Tanah Batak dan Wilayah Padang Sidimpuan. Wilayah Tanah Batak (ibukota: Tarutung) meliputi Dairi, Samosir, Barus, Toba Plateau (Humbang), Toba, Silindung. Sedangkan Wilayah Padang Sidimpuan (ibukota: Padang Sidimpuan) meliputi Angkola dan Sipirok, Padang Lawas,
Seandainya Nommensen tidak pernah datang ke Tapanuli, barangkali polarisasi agama Kristen-Islam (yang sampai batas tertentu bisa diidentikkan dengan polarisasi wilayah Tanah Batak dengan wilayah Padangsidimpuan seperti disebut di atas) akan lebih parah dari sekarang ini. Sebelum Nommensen berkarya di Tanah Batak, masyarakat tertutup yang hidup di wilayah Tanah Batak sudah semakin tertutup dalam interaksinya dengan pihak luar karena berbagai pengalaman kelam di masa lampaunya. Salah satu penyebab ketertutupan ini adalah invasi pasukan Padri dari Minangkabau dan Mandailing Natal yang menyisakan luka mendalam di hati mereka.[3] Tentara Padri menindas masyarakat Batak dengan kekerasan dan membunuhi mereka yang tidak mau masuk Islam.[4] Perang Padri yang di Tanah Batak berlangsung dalam dua periode (1824-1829 dan 1830-1833) ditaksir menewaskan 200.000 jiwa.[5] Invasi ini konon membuat mereka menjadi makhluk yang membenci orang asing (xenophobia). Beberapa kali Penginjil memasuki kawasan itu dengan hasil nihil bahkan ada di antara mereka yang sampai dibunuh. Penginjil pertama yang menginjakkan kakinya di Tanah Batak adalah Pdt. Burton dan Pdt. Ward, tahun 1824, diutus oleh Gereja Baptis Inggris. Kemudian tahun 1834, Pdt Samuel Munson dan Pdt Henry Lyman diutus oleh Pekabaran Injil Boston, AS, ke Tanah Batak.[6] Keduanya mati martir di Lobupining, sebuah desa kecil di Silindung yang terletak di jalan raya Tarutung-Sibolga.
Ketertutupan Tanah Batak berakhir dengan kedatangan Penginjil yang sangat simpatik Dr. Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918) dari Jerman.[7] Dengan kehadiran Nommensen, ketertutupan itu berubah menjadi keterbukaan yang luar biasa terhadap nilai-nilai baru, seperti Kekristenan, pendidikan modern, sistem pakaian, dan semangat memperoleh kehidupan yang lebih baik sekalipun harus meninggalkan kampung halaman. Karya Nommensen yang sangat spektakuler itu membuatnya dijuluki sebagai Rasul Batak dan disapa sebagai Ompui—sebutan yang sebelumnya hanya bisa disandangkan kepada Sisingamangaraja I-XII.
Buah manis pekerjaan Nommensen itu, menciptakan semacam garis equilibrium antara Tapanuli bagian Utara yang didominasi Kristen dengan Tapanuli bagian Selatan yang sudah terlebih dahulu didominasi Islam. Pemuda-pemudi Tapanuli Bagian Utara, atas nama kemajuan, lantas menjadi terdorong merantau ke negeri mana pun demi kehidupan yang lebih baik.
Garis keseimbangan itu, di sisi lain, mengentalkan semacam polarisasi di antara Utara dan Selatan yang tentu saja melahirkan berbagai konflik dengan intensitas yang beragam. Castles telah mengupas konflik klasik antara masyarakat Kristen di Tapanuli bagian Utara dengan masyarakat Islam di Tapanuli bagian Selatan ini. Castles secara gamblang melihat konflik itu terutama dipicu oleh sentimen agama di kedua bagian Tapanuli itu. Konflik itu lebih diperkental lagi oleh kenyataan bahwa masyarakat Tapanuli bagian Utara dengan bangga menyebut diri sebagai orang Batak sedangkan masyarakat Mandailing tidak mau mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Batak melainkan orang Mandailing.[8]
Konflik historis terbesar yang dicatat Castles terjadi sejak tahun 1939 ketika pemerintah kolonial Belanda merencanakan pembentukan sebuah Dewan Daerah berdasarkan kelompok kesukuan (Groepsgemeenschap) di Tapanuli. Konflik itu bukanlah terutama pada masalah perebutan kursi anggota dewan melainkan pada masalah nama Dewan tersebut. Tapanuli Utara menghendaki nama Batakraad untuk dewan dimaksud, Sibolga, Angkola-Sipirok, dan Padanglawas lebih setuju dengan nama Tapanoeliraad, sedangkan Mandailing tidak ingin bergabung dalam satu dewan dengan Tapanuli bagian Utara. Mereka meminta Dewan Daerah tersendiri yang terpisah dari pihak Utara. Jika Dewan yang satu itu harus dibentuk maka mereka lebih suka bergabung dengan Minangkabau.[9] Jelaslah, sentimen keagamaan sangat kentara di sini.
Menurut saya, polemik berkepanjangan perihal Provinsi Tapanuli tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan polarisasi di atas.
- Gagasan Provinsi Tapanuli
Sebelum adanya Keresidenan Tapanuli, pemerintahan kolonial Belanda sudah terlebih dulu mendirikan Keresidenan Air Bangis di Sumatra Barat, tahun 1838. Keresidenan ini meliputi juga sebagian wilayah Tapanuli, yakni Tapanuli Selatan. Tahun 1842, keresidenan ini diubah menjadi Keresidenan Tapanuli dengan ibukota di Sibolga. Keresidenan ini berada di bawah Gubernur yang saat itu berkedudukan di
Wilayah Tanah Batak (Tapanuli bagian Utara) sendiri sudah mengalami berbagai perubahan administratif sejak kelahirannya sampai kini. Kabupaten Dairi merupakan hasil pemekaran pertama dari kabupaten induk, yakni Kab. Tapanuli Utara, tahun 1964, kemudian Kab. Toba Samosir, tahun 1998, dan Kab. Humbang Hasundutan, tahun 2003.[11] Perubahan lainnya adalah tentang wilayah Humbang yang pada zaman penjajahan Belanda sudah merupakan daerah administrasi dengan nama Onderafdeling Hoofdvlakte van Toba dengan ibukota Siborongborong. Tahun 1947 Humbang menjadi kabupaten, bersama-sama dengan tiga kabupaten lainnya yakni Kabupaten Silindung, Toba Samosir, dan Dairi. Tahun 1950, keempat kabupaten digabung menjadi satu, yakni Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukota Tarutung.
Gagasan pemekaran Provinsi Sumatra Utara yang sekarang sudah ada sejak September 1957.[12] Di sini kita harus mencatat nama ANP Situmorang, Ketua Seksi “B” DPRD Tingkat I Sumut (waktu itu).
...Pembagian sedemikian rupa itu berarti bebas dari puak-puak atau tradisi yang selama ini dijalankan. Agar kaum politisi, inteligensia dan jago-jago kebudayaan hendaknya dapat membahas persoalan-persoalan pembagian ini dengan tidak berdasarkan sentimen.[13]
Menurut Hamidy, gagasan semacam itu muncul lagi sesudah Dr. Lance Castles mempertahankan disertasinya The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940, di Yale University, AS, tahun 1972. “Gagasan itu lahir dari pemikiran bahwa sudah ada beberapa keresidenan yang dimekarkan menjadi propinsi,” tulis Hamidy.[14]
Tahun 2000, gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli kembali muncul ke permukaan dan mencapai puncaknya tahun 2002.[15] Menurut catatan pers, Deklarasi Rakyat Tapanuli diadakan April 2002 di Tarutung, Tapanuli Utara. Atas situasi ini, tgl
Tahun 2006, gagasan untuk pendirian Provinsi Tapanuli kembali marak dengan dimotori oleh pemilik Harian Sinar Indonesia Baru (SIB),
- Polemik
- Sentimen Agama & Tribalisme
Polemik pertama tentang Provinsi Tapanuli harus dilihat dalam bingkai historisnya, yakni sentimen agama. Seolah-olah orang Selatan itu identik 100% dengan Islam dan Utara itu 100% identik dengan Kristen. Keberadaan GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola) di Selatan adalah bukti bahwa identifikasi ini tidak benar. Polarisasi agama yang oleh berbagai pihak sering ditumpangtindihkan dengan etnisitas dan regionalitas membuatnya sebagai hal yang sangat peka dan fragile. Ketumpangtindihan antara agama dan etnis inilah yang—apabila tidak dikelola dengan baik—paling berbahaya. Ini dapat menyebabkan apa yang secara tegas, namun menurut saya berlebihan, disebut oleh Basyral Hamidy Harahap sebagai tribalisme.[17] Pendukung Provinsi Tapanuli mencoba menjawab ketakutan ini dengan membawa warga Batak yang muslim mendemonstrasikan dukungannya atas ide Provinsi Tapanuli itu. Pendapat saya pribadi, demonstrasi ini tidak dapat disepelekan mengingat pengaruh Islam kini kian besar bagi Tapanuli bagian Utara. Tidak ada satu
- Mampu atau Tidak Mampu?
Polemik penting lainnya tentang Provinsi Tapanuli adalah perihal kemampuannya, baik SDM-nya maupun SDA-nya dalam arti seluas-luasnya. Seringkali jawaban para pendukung Provinsi Tapanuli tentang hal ini adalah ribuan SDM orang Batak yang tersebar di mana-mana. Sedangkan di lain sisi, SDA-nya dikatakan sangat indah luar biasa. Dengan kata lain, pariwisata akan menjadi andalan provinsi baru itu nantinya. Tentang kemampuan ini, bagaimana fasilitasnya? Apa ada universitas, pelabuhan, lahan kosong, dsb?
Sebuah tanggapan ketidaksetujuan dari Gubsu (waktu itu) T. Rizal Nurdin (alm):
Dalam pembentukan Provinsi Tapanuli masih banyak yang harus dibenahi, misalnya seperti lapangan udaranya, pelabuhan lautnya, jalan-jalannya serta fasilitas pendukung lainnya. Jika ini tidak dibenahi, maka semua hasil komoditi yang ada di Pantai Barat hartus diangkut lewat Pantai Timur, dan ini bisa menjadi masalah di kemudian hari. Seperti contoh, masyarakat Pantai Timur akan keberatan jika jalan-jalannya rusak akibat pengangkutan komoditi dari Pantai Barat...[18]
Justru di sinilah permasalahannya sekaligus perbedaan titik pandang perihal Provinsi Tapanuli tersebut. Yang pro melihat justru dengan wujudnya Provinsi baru, semua yang harus dibenahi tersebut dapat dikerjakan lebih cepat, semantara yang kontra melihat bahwa semuanya itu harus dibangun terlebih dahulu.
Rizal Nurdin juga mengatakan bahwa pembentukan Provinsi Tapanuli akan menimbulkan masalah dalam penempatan PNS. “Jika Provinsi Tapanuli dibentuk, maka para PNS asal Pantai Barat ini mau dikemanakan nantinya, dan PNS-PNS ini belum tentu mau pindah ke Provinsi Tapanuli.” Pendapat Rizal Nurdin ini (yang juga banyak dikutip pihak penentang lainnya) tentunya mengundang tanda tanya besar. Kenapa mereka harus dikembalikan? Toh, Provinsi Tapanuli (seandainya terbentuk) bukanlah sebuah negara baru.
Ketakutan berlebihan semacam hal di atas tentu saja lebih merupakan ancaman ketimbang “bagaimana seharusnya”. Lalu, tentang “masih banyak yang harus dibenahi”, mereka (pendukung) akan menjawab, “Orang yang baru membentuk keluarga
- Demi Kesejahteraan atau Demi Kekuasaan
Sehubungan dengan sentimen keagamaan sebagaimana sudah disinggung di atas, masyarakat Tapanuli bagian Utara yakin bahwa provinsi baru diperlukan untuk menghapus peta kemiskinan, sedangkan Tapanuli bagian Selatan tidak.[19] Sementara, Ketua Komite Kerja Pembentukan Provinsi Tapanuli Sabar Martin Sirait mengatakan:
“Selama 61 tahun bergabung menjadi bagian dari Sumatera Utara, Tapanuli mengalami ketertinggalan, tingkat kesejahteraan yang rendah, minimnya sarana dan prasarana dan kurangnya perhatian pemerintah selama ini.”[20]
Pihak yang kontra mencurigai alasan ini sebagai pembenaran atas ambisi mereka yang haus kekuasaan, yang ingin menjadi raja-raja kecil di tingkat lokal. Laksda TNI (Purn.) Dr. Farel M. Parapat menegaskan hal ini dan menilai gagasan Provinsi Tapanuli sebagai “ambisi tertentu dari elite Batak yang ingin menjadi ‘raja kecil’ di Tapanuli karena tidak mampu menjadi ‘raja besar’ di Pusat.”[21] ‘Raja kecil’ di sini bisa saja menjadi Gubernur, Wakil Gubernur, Asisten, Kepala Dinas, Bupati, Walikota, Camat, dsb. Secara pedas, FM Parapat malah menilai para pendukung Provinsi Tapanuli sebagai “berpikiran picik”. Dia juga menghubungkan permasalahan ini dengan kualitas nasionalisme orang Batak yang, katanya, sejak dahulu sudah tidak diragukan lagi.[22] Pemikirannya ini tentunya tidak mengherankan sebab beliau adalah seorang pensiunan tentara berlatar belakang Orde Baru yang aktif memegang berbagai jabatan pada masa kekuasaan Soeharto yang militeristik itu. Bagi sang jenderal, nasionalisme barangkali adalah penerimaan mutlak atas setiap kebijakan Pusat (nasional) dan nasionalisme itu sendiri menjadi harga mati.
- Penutup
Menurut saya pribadi, secara psikologis orang Batak Kristen belumlah sepenuhnya merdeka di Republik ini (tahap pertama tulisan ini saya selesaikan tepat pada HUT Kemerdekaan tgl 17 Agustus 2007 dan tahap akhir tepat pada Hari Kesaktian Pancasila tgl 1 Oktober 2007). Inilah salah satu, saya kira, yang mendorong warga Tapanuli Bagian Utara berada di pihak yang mendukung Provinsi Tapanuli Utara. Memang, kemiskinan di sana-sini masih merata, SDA-nya juga belum dikelola secara optimal, SDM terbaiknya pun justru berada di luar Tapanuli, tapi bukanlah itu belaka yang menjadi alasan kebanyakan orang mendukung Provinsi baru itu. Sekalipun demikian, hal ini tidak dikatakan secara terus terang karena ketidakmerdekaan itu sudah seolah-olah menjadi bagian dari “salib” mereka sebagai warga Kristen di negeri ini.
Apa yang saya maksudkan dengan orang Batak Kristen belum merdeka? Ialah bahwa di mana-mana di belahan tanah air ini mereka sering dianggap sebagai warga kelas dua. Mereka tidak bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Gereja mereka dibakar, dilempari, dihambat pembangunannya, dirusak, ditutup, atau bahkan nyawa warga gereja tersebut dibunuh atau diancam. Musibah terakhir yang sempat saya catat, Praeses HKBP Distrik XXI Jakarta-3 Pdt JAU Doloksaribu, MMin, mengalami luka di kepala saat memimpin ibadah karena dilempar orang tak dikenal dari kerumunan massa pada peristiwa perusakan gedung gereja HKBP Rajeg Ressort Kutabumi, Tangerang, Minggu 2 September 2007. Demikian pula insiden HKBP Stabat, Kab. Langkat, di mana
Ketidakmerdekaan menyangkut orang Batak Kristen perantauan ini sering juga menjadi topik diskusi hangat di Tapanuli bagian Utara ini. Jangankan untuk menjadi Presiden, untuk menjadi Camat ataupun Lurah saja kenapa tidak boleh orang Batak tetap beragama Kristen? Hal ini terjadi dalam hampir semua instansi, rumah sakit, dsb. Banyak juga guru sekolah beralih dari Kristen ke agama lainnya hanya supaya bisa menjadi Kepala Sekolah. Ayah saya sendiri pernah diminta seorang pejabat agar berganti agama supaya bisa menjadi Kepala Sekolah di salah satu SMU Negeri di sekitar
Bagi mereka yang mengutamakan transformasi masyarakat, Provinsi Tapanuli bukanlah segala-galanya dan bukan pula finalitas. Saya rasa, di sinilah peran LSM, gereja, dan Rumata ini harus dipertajam: membangun karakter warga masyarakat. Sebagai forum transformasi pertama di Tarutung dan yang dibidani oleh banyak pendeta, peran Rumata dalam character building warga masyarakat lokal sangat strategis.
Akhirulkalam, hidup harus terus berlangsung. Provinsi Tapanuli boleh berhenti, setidaknya untuk sementara ini, tetapi kehidupan tidak boleh dipadamkan. Hubungan masyarakat Tapanuli Bagian Utara dan Tapanuli Bagian Selatan boleh memiliki masa lalu yang kelam, tapi ke depan kita harus mengembangkan pluralisme. Bagaimanapun, tanggung jawab dan peran tokoh-tokoh Islam di Selatan serta tokoh-tokoh Kristen di Utara harus diintensifkan. Saya rasa, inilah titik awal transformasi Tapanuli. Di sinilah fungsi agama sebagai pendamai dan pembebas tidak bisa diabaikan.
Selamat datang Rumata. Mencari makna kemerdekaan yang hakiki harus jalan terus!
[1] Bungaran Anthonius Simandjuntak, Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba,
[2] Lihat petanya dalam Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di
[3] Lih. Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, Yogyakarta: LKiS, 2007, khususnya Pasal 12, “Tentara Padri Menduduki Toba dan Silindung, 1818-1820,” hlm. 198-268. Buku cetak ulang ini mendapat pujian dari beberapa peresensi, namun dalam hemat saya buku ini harus dibaca dengan sangat hati-hati untuk membedakan yang mana fakta dan yang mana mitos serta opini.
[4] Simandjuntak, Op. Cit., hlm. 83.
[5] Ibid., mengutip E. Harahap, Perihal Bangsa Batak,
[6] Almanak HKBP 2007, hlm. 437.
[7] Biografi terpenting Nommensen adalah karya penerusnya Pdt Johannes Warneck, D. Ludwig I. Nommensen dan karya putranya Jonathan T. Nommensen, Parsorion ni Tuan Ephorus D. Theol. Ludwig Nommensen dohot na Niulana (dalam dua jilid). Pendekatan baru tentang kehidupan Nommensen lih. Rev. Prof. Dr. Lothar Schreiner, “Nommensen in His Context—Aspects of a New Approach,” dalam Thomson MP Sinaga, et al., (Eds.), Pelayan yang Kritis di Alam Demokratis, Buku Pengucapan Syukur 50 Tahun Pdt WTP Simarmata, MA, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006, hlm. 161-171.
[8] Castles, Op. Cit., hlm. 195-212.
[9] Ibid., hlm. 200-201.
[10] Hampir semua alinea ini dikutip dari Orin Basuki, “Tapanuli, dari ‘Huta’ hingga Kemerdekaan,” dalam Kompas Cyber Media, Senin, 6 Mei 2002. Diakses tgl. 14 Agustus 2007.
[11] Meskipun demikian, hari jadi Kabupaten Dairi ditetapkan tgl 1 Oktober 1947. Sejarah ini bermula pada agresi militer I Belanda yang menguasai Sumatra Timur sehingga untuk menyelenggarakan pemerintahan serta perang melawan agresi tersebut, Residen Tapanuli (ketika itu) Dr Ferdinand Lumbantobing selaku Gubernur Militer Sumatra Timur dan Tapanuli, menetapkan Keresidenan Tapanuli menjadi empat kabupaten, yakni Dairi, Toba Samosir, Humbang dan Silindung. Berdasarkan surat Residen Tapanuli Nomor 1256 tanggal 12 September 1947 ditetapkan Paulus Manurung sebagai Bupati pertama Dairi yang berkedudukan di Sidikalang, terhitung mulai 1 Oktober 1947. Berdasarkan tanggal ketetapan bupati pertama itulah yang akhirnya dasar kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Dairi melalui Keputusan DPRD Kabupaten Dairi No. 4/K-DPRD/1997 tanggal
[12] Dikutip dari http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/ tgl Juli 2007 yang mengutipnya dari harian Suara Nasional.
[13] Ibid.
[14] Lih. http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/, tgl
[15] Bd. Basuki, loc. cit.
[16] Lih. http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/, tgl
[17] Basyral Hamidy Harahap, “Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah,” dalam http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/ tgl
[18] “Diskusi Pembentukan Provinsi Tapanuli,” dalam http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/ tgl
[19] “Jangan Cuatkan Tribalisme: Provinsi Baru Diyakini Dapat Hapus Kemiskinan,” dalam Kompas Cyber Media, Sabtu,
[20] Lih. http://www.batamtoday.com, Senin,
[21] “Laksda TNI (Purn) Dr. Farel Parapat: Rekomendasi Penolakan Sudah Tetap,” dalam Majalah Horas, No. 84/V/28 Mei-15 Juni 2007.
[22] Dalam ibid. dan Majalah Horas edisi sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar